Info dan tips pendidikan #MerdekaBelajar. Ayo ajak yang lain bergabung
Merdeka Belajar: Sirah Nabi Muhammad SAW, Teladan Hati dan Aksi
Najelaa Shihab - Dewan Kurikulum Living Qur'an
Momentum Maulid Nabi Muhammad SAW, adalah saat tepat untuk belajar (lagi) Sirah Nabi. Belajar sejarah dalam pendidikan Islam seringkali jadi strategi utama guru dan orangtua mengenalkan nilai Qur'ani dan semangat Islami. Anak secara alamiah tertarik dengan cerita. Tetapi, sukses atau tidaknya guru dan orangtua mengajarkan sejarah, tidak tergantung seberapa banyak yang anak ingat dan ceritakan kembali. Di Living Qur'an, saya belajar, ada pendekatan yang lebih efektif untuk jangka panjang. Karena tujuan interaksi kita adalah menumbuhkan rasa cinta sebagai bekal penting mengenal Rasulullah SAW yang luar biasa, juga bekal terus belajar dari sejarah Islam yang kaya.
Kita harus berhati-hati untuk tidak menyamakan belajar sejarah Nabi SAW sebatas mempelajari masa lalu dan faktanya. Belajar sejarah apapun, sejatinya adalah belajar tentang interpretasi sejarawan tentang fragmen/fokus tertentu dari suatu peristiwa di masa lalu. Kita perlu mencoba mengenalkan sejarah Rasulullah SAW menjadi bagian dari masa kini. Karena kita ingin anak terus belajar mengenai Nabi SAW bukan saja saat mendengar cerita di usia dini seperti yang banyak kita alami. Bila kita ingin melihat anak menjadi "sejarawan mandiri", ia perlu memahami dan menginterpretasi peristiwa di kehidupan Nabi SAW dengan yang dialami dan diamatinya saat ini. Belajar sirah Nabi SAW bukan sekedar menceritakan ulang informasi. Biasakan menggunakan berbagai sumber yang terpercaya, mengajak anak bedakan informasi ilmiah dan berdasar kitab suci dengan kabar burung dan kisah yang tidak menempatkan Nabi SAW sesuai kemanusiaan dan kemuliaannya.
Keengganan dan kebosanan anak pada sejarah Islam sering bermula karena fokus kita yang berlebihan pada tanggal, nama dan tempat. Keingintahuan utama anak justru pada alur peristiwa. Latar belakang, yang terjadi sebelum dan sesudahnya di tempat yang sama, juga hubungan dan dinamika antar peran dan aktor sejarah. Belajar tentang Futuh Makkah misalnya, tentu bisa menjadi kesempatan emas belajar tentang kenapa penduduk Makkah berduyun-duyun dengan kesadaran masuk Islam. Tetapi yang jarang diceritakan, Nabi Muhammad SAW juga menunjukkan keteladanan sikap kepada orang tua di peristiwa ini. Beliau dengan luar biasa menunjukkan hormat kepada Abu Qahafah, ayahanda Sayyidina Abubakar RA yang hendak masuk Islam. Dengan pendekatan ini, anak terbiasa memahami berbagai sudut pandang peristiwa. Anak juga belajar bahwa "fakta" dan "bukti" sejarah adalah dua hal yang berbeda. Anak paham bahwa fakta tidak selalu bebas salah, bahwa bukti sejarah yang kita baca adalah hasil proses memilih dan terkadang ada yang "terlewati".
Salah kaprah lain yang masih sering kita praktikkan adalah menjelaskan sejarah dalam vakum dan satu garis waktu. Kita perlu mengajak anak melihat bahwa dalam satu periode waktu terjadi banyak peristiwa paralel di tempat yang lain, yang saling mempengaruhi dan bisa membantu kita memahami sejarah dengan utuh. Peristiwa Futuh Makkah tadi misalnya, jarang dipelajari anak dalam konteks apa yang terjadi di Madinah. Kemenangan di Makkah, sempat membuat kaum Anshor di Madinah cemas. Namun Rasulullah SAW menenangkan kaum Anshor dan setelah berada di Makkah selama 19 hari (ada pula yg meriwayatkan 15 dan 17 hari), beliau pun kembali ke Madinah. Bila kita memandang sejarah sebagai proses dialog, cerita yang berhubungan dan diinterpretasi oleh anak, guru serta orangtua, maka Insya Allah topik apapun akan menarik untuk usia berapapun.
Kata kunci utamanya adalah proses belajar barengan. Sebagai orangtua dan guru, saya seringkali perlu belajar kembali, sebelum mulai mengajarkan sirah Nabi Muhammad SAW kepada anak-anak. Bukan sekedar riset, tapi juga refleksi. Semoga kita selalu mendapat kesempatan menggali inspirasi dari kehidupan beliau. Shalawat dan Salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah SAW.
http://alifmagz.com/this-friday/merdeka-belajar-sirah-nabi-muhammad-saw-teladan-hati-dan-aksi/
#SemuaMuridSemuaGuru
Siang-siang butuh kesegaran? Saksikan yang satu ini :)
https://www.facebook.com/groups/KomunitasGuruBelajar/permalink/597822150416667/
Guru Lany adalah guru biasa. Ia mengajar di sebuah sekolah di Timika. Tinggal di pelosok tidak meredupkan semangatnya berbagi. Ia tetap berbagi praktik mengajarnya melalui tulisan di Surat Kabar Guru Belajar dan melalui diskusi di WA/Telegram atau grup Facebook Komunitas Guru Belajar. Tidak puas dengan berbagi di dunia daring (online), Ia ingin berjumpa dan belajar bersama para guru di berbagai daerah. Dengan uang pribadi, yang seharusnya digunakan untuk liburan, semester lalu Guru Lany mengadakan kelas pelatihan buat relawan pengajar dan guru di Wamena. Semester ini, Ia berencana mengadakan pelatihan serupa di masyarakat adat Jambi. Jangan biarkan Guru Lany sendiri melakukan perubahan pendidikan di Indonesia.
Yuk dukung Kelas Mandiri Guru Lany. Info dan dukungan, klik https://kitabisa.com/gurulany
*Merdeka Belajar: Anak dan Kelak Demokrasi Kita*
Najelaa Shihab - Pendidik
Beberapa minggu belakangan, banyak peristiwa yang bisa menjadi pelajaran bagi anak tentang demokrasi. Anak membangun ke-Indonesia-annya dengan mengamati dan mempraktikkan yang terjadi. Hari ini, kita sebetulnya berkesempatan menumbuhkan cinta demokrasi saat mengajarkan literasi media digital serta mencontohkan pemahaman agama. Ini bekal anak menjadi pengelola informasi kritis, pendidik keluarga positif, pemeluk agama moderat dan warganegara berdaya di hari mendatang. Anak berpartisipasi aktif dalam apa yang terjadi di dunia ini, walaupun orang dewasa di sekitarnya sering tidak sadar akan kehadirannya, sering lupa bahwa anak menjadi korban tidak hanya sekedar secara fisik tapi yang lebih beresiko secara mental.
Sayangnya, pendidikan kita, bukan pendidikan berbasis pemahaman makna. Percakapan tentang topik sulit, belum menjadi bagian proses sehari-hari. Darimana saya tahu informasi ini bukan saja tidak salah tapi juga berimbang? Apa Islam, siapa Muslim, apa perbedaannya? Bagaimana contoh perilaku warganegara yang taat hukum, mematuhi ketentuan yang ditegakkan penguasa atau justru menggerakkan perlawanan pada kemapanan? Ini contoh pertanyaan penting, bukan saja dalam perumusan kurikulum nasional, tetapi seharusnya mengisi ruang kelas dan keluarga sejak dini. Anak perlu belajar bahwa konflik dan dilema bukan saja tidak bisa dihindari, namun perlu dialami. Tidak semua guru dan orangtua kompeten membahas demokrasi. Di sisi lain, anak terus terpapar pada rentetan pesan dan eskalasi konflik di media maupun ruang publik terkait pertanyaan essensial. Tak heran banyak yang gagap menjawab. Karena kita menyederhanakan pendidikan demokrasi menjadi sekedar sensor informasi dengan algoritma teknologi, atau upacara bendera tanpa makna di jam sekolah.
Pendidikan kita belum naik kelas, masih berfokus pada "belajar tentang" bukan "belajar dari". Anak dianggap obyek yang dijejali pengetahuan sesuai standar. Ditakuti dan diimingi nilai ujian. Anak jarang mendapat kesempatan berdaya, berlatih menyelesaikan masalah nyata. Hafalan di kelas agama seolah tak berkait dengan praktik budaya sekolah yang diskriminatif. Cerita moral yang dibacakan di rumah jauh berbeda dengan tayangan dari jalanan yang penuh kekerasan. Orang dewasa di sekitar anak, melupakan hak mereka untuk terlindungi dari informasi sesat dan kepentingan sesaat. Alih-alih menjadi teladan toleransi dan persatuan, kita malah menguatkan rasa takut dan ekstremitas. Alih-alih menjadi pemilih rasional, kita diam atau mendukung kandidat seolah tanpa kekurangan.
Pesta demokrasi, mestinya mendorong kita semua, dalam berbagai peran, berkontribusi untuk pendidikan pemilih pemula. Kalau tidak tahun ini, beberapa tahun kedepan, anak kita akan menjadi pelaku penting, bukan sekedar penonton demokrasi. Yang kita tumbuhkan hari ini, menjadi buah yang kita tuai tak lama lagi. Pastikan kita tidak mengorbankan lebih banyak anak, menyuburkan ekosistem beracun yang menghambat munculnya pahlawan demokrasi masa depan.
*Semua Murid Semua Guru*
Halo, Rekan Guru Belajar
Masih ingatkah ungkapan dari Albert Einstein ini "Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.”?
Lalu bagaimana caranya kita sebagai guru mengemas pembelajaran selain menarik namun juga mengakomodasi kemampuan pelajar yang beragam?
Ibu Komsinah atau yang biasa dipanggil Ibu Nina, seorang Guru SD di Jember telah mempraktekkan 'Diferensiasi' dalam pembelajaran di kelasnya. Jumat, 2 Desember 2016 Pkl 18.30 WIB/ 19.30 WTA/20.30 WIT ini beliau akan berbagi dalam diskusi mingguan Guru Belajar mengenai 'Diferensiasi'. Yuk segera bergabung di /channel/diskusigurubelajar
Buat teman-teman yang mau nonton Facebook Live tentang Moratorium Ujian Nasional bersama Najelaa Shihab dan Nino Aditomo, silahkan merapat ke Kampus Guru Cikal di https://www.facebook.com/KampusGuruCikal/
Читать полностью…Debat Publik Pendidikan
Apakah Anda Setuju atau Tidak Setuju dengan rencana pemerintah menghapus Ujian Nasional mulai tahun 2017?
Ayo tentukan pilihan Anda di http://bit.ly/DebatUN
Share posting ini agar pilihan Anda lebih banyak yang memilih
Selamat sore!
Diskusi mingguan #GuruBelajar
Jumat, 25 Nov 2016
18.30 - 20.30 WIB
Tema: Praktik layanan bimbingan konseling di sekolah
Narasumber: Usman Djabbar (KGB Makassar)
Moderator : Desi Imam Harmika (KGB Tanah Bumbu)
Silahkan bergabung di /channel/diskusigurubelajar
Jangan sampai ketinggalan lagi
Merdeka Belajar (2): Memilih Cara Alternatif
Menyepakati tujuan dan cita-cita tidak mudah, namun saya selalu mengatakan, di dunia pendidikan, yang jauh lebih sulit adalah menyepakati cara. Kalau kita memilih pendekatan Guru Belajar, maka kita memilih cara alternatif, cara yang terasa lebih sulit, namun saya yakini menjadi titik perubahan reformasi pendidikan saat berbicara tentang pengembangan guru.
Guru merdeka belajar adalah kunci dari perubahan pendidikan. Yang saya katakan bukan guru adalah kunci. Ada perbedaan besar antara "sekedar" menyebut guru dengan menyebut guru yang merdeka belajar. Pernyataan pertama sering kita dengar, ratusan penelitian menunjukkan betapa kompetensi guru menjadi salah satu faktor penting (angkanya beragam 7-20%) yang menentukan capaian siswa. Namun pernyataan guru penting dalam penjelasan ini membatasi peran guru seolah hanya sebagai faktor dalam produksi, mencetak murid dengan karakteristik tertentu membutuhkan guru dengan karakteritik tertentu yang juga perlu dicetak, diajar, dan seterusnya. Saat saya mengatakan bahwa "guru merdeka belajar adalah kunci", maka saya berbicara jauh lebih besar dari sekedar individu guru sebagai "input", tapi peran guru yang berdaya dalam konteks dan struktur pendidikan kita di Indonesia.
Sekali lagi, bila tujuannya adalah demokrasi, murid yang mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan, pendidik yang merdeka belajar adalah kuncinya.
Saya baru 20 tahun jadi pendidik ibu dan bapak, baru 20 tahun belajar bersama guru-guru. Di setiap sesi pengembangan guru, pertanyaan "standar" saya, adalah apakah ibu dan bapak merasa merdeka. Kemerdekaan bukan diberikan, tapi harus direbut karena percaya kuatnya kemampuan diri sendiri.
Sumber: http://bit.ly/MerdekaBelajar2
Selamat pagi 🙋🏼
Selamat hari Jumat 🙏🏼
Mengapa meski tidak efektif namum metode ceramah populer di dunia pendidikan? Mengapa meski tidak relevan namun ujian terstandar tetap dipakai untuk menentukan kelulusan? Mengapa meski banyak dampak negatifnya tapi ganjaran - hukuman terus dipakai untuk mendisiplinkan pelajar? 🤔
Mengapa pendidikan yang seharusnya menjadi pelopor perubahan justru tidak mengalami perubahan bermakna dalam 100 tahun terakhir? 😱
Pertanyaan-pertanyaan besar itu yang dijawab Bukik dengan jawaban sederhana: karena kebanyakan pendidik menganggap anak sebagai kertas kosong. 😮
Padahal tradisi masa lalu maupun riset masa kini membuktikan bahwa Anak Bukan Kertas Kosong.
Benarkah? 😵
Ikuti diskusi #GuruBelajar bersama,
Bukik Setiawan, dosen Kampus Guru Cikal, inisiator Komunitas Guru Belajar, penulis buku Anak Bukan Kertas Kosong. ☺
Jumat, 18 November 2016
WIT ~ 20.30 - 22.30
WITA ~ 19.30 - 21.30
WIB ~ 18.30 - 20.30
Bagaimana caranya?
Segera bergabung di Kanal Telegram #GuruBelajar. Klik /channel/GuruBelajar 😊
Sampai jumpa malam nanti 🙋🏼
Debat Publik Pendidikan
---
Saya mendapat cerita dari Pak Riyadi Ariyanto seperti ini:
---
Baru saja sekolah saya, SMK NEGERI 1 JEMBER, melakukan terobosan penting tentang pelaksanaan ujian semester. Mulai semester ini sekolah tidak lagi membuat kepanitiaan ujian, kepengawasan, dll. Ini keren. Proses ujian semester menjadi lebih praktis, lebih hemat biaya, dan mendorong keberdayaan guru untuk memandang bahwa ujian bukan sesuatu yang terpisah dari proses pembelajaran. Dan pelan-pelan semoga ini dapat menghilangkan budaya ujian di sekolah. --- Saya ajukan dua pilihan, Anda setuju pilihan mana? Apa alasannya? --- Ujian Semester terjadwal, bersama dan oleh sekolah. Artinya, ada minggu khusus untuk ujian yang dilaksanakan serempak dan ditentukan waktunya oleh sekolah. --- Ujian Semester fleksibel, sendiri dan oleh Guru. Artinya, tidak ada minggu khusus untuk ujian. Ujian diadakan mengacu pada proses dan rencana belajar di setiap kelas. Waktu pelaksanaan ditentukan guru.
Silahkan tentukan pilihan Anda di https://www.facebook.com/groups/KomunitasGuruBelajar/permalink/585728474959368/
Sebagai konferensi tahunan berskala nasional, Temu Pendidik Nusantara bertujuan menjadi wadah berkumpul, bertemu, dan belajar, serta memperkuat jaringan bagi para pendidik bangsa (guru, pimpinan sekolah, pemerhati bidang pendidikan, orangtua, penggerak pendidikan di daerah).
Pada tahun ketiga ini, Temu Pendidik Nusantara akan digelar selama dua hari dengan melibatkan lebih dari 1000 pendidik dari berbagai daerah di nusantara.
Ayo pastikan Anda hadir untuk berbagi pengalaman, belajar dan membangun jaringan pendidikan!
Hari Ke-1: Pembukaan & Debat Kebijakan Publik
Jumat, 28 Oktober 2016
16.00-18.00 WIB
Gelanggang Remaja, Jl. Raya Ragunan No.1, Pasar Minggu.
Moderator: Najwa Shihab
Narasumber:
Ridwan Kamil (Walikota Bandung) & Suyoto (Bupati Bojonegoro)
Hari Ke-2 : Lokakarya
Sabtu , 29 Oktober 2016
08.30 - 16.00 WIB
Sekolah Cikal Cilandak
SDN 12 Cilandak
SDN 13 Cilandak
SMP 68 Cipete
SMA 28 Pasar Minggu
SMK 57 Ragunan
Narasumber:
ACDP Indonesia, Akademi Berbagi, Anti-Corruption Learning Center - KPK, Ayo Dongeng Indonesia, Ayomain, Cerdas Digital, Digital Edu, Diskusi Pendidikan Musik, Gerakan Peduli Musik Anak, I'm On My Way, Inibudi.org, Kampung Halaman, Kampus Guru Cikal, Keluarga Kita, Komunitas Baca Cerita Mentari, Komunitas Body Movement, Komunitas Guru Belajar, Komunitas Rumah Pencerah, Kuark Internasional, Living Qur'an, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK), RPI, Science Factory, SERRUM, TemanTakita.com, Yayasan Sejiwa, Youthmanual
Harga Tiket
Tiket Hari I: Rp. 225.000
Tiket Hari II: Rp. 300.000
Tiket Hari I & II: Rp. 450.000
Daftar di http://www.kampusgurucikal.com/tpn-2016
Bila ada pertanyaan, silahkan email ke KampusGuru@Cikal.co.id dan WA 0813 11698880
#SuaraAnak adalah alternatif ujian (nasional?)
Bila bukan ujian terstandar, lalu apa? Bila pertanyaan itu ditanyakan ke saya, saya akan menjawab tegas: #SuaraAnak. Ya, Suara Anak adalah alternatif ujian terstandar. Alih-alih meminta anak mengerjakan sejumlah soal secara tertulih, Suara Anak memberi kesempatan pada anak untuk menceritakan proses dan hasil belajarnya.
Pertanyaan di Suara Anak hanya sedikit, tapi untuk menjawabnya anak butuh mengeksplorasi keseluruhan pengalaman belajarnya. Anak punya kemerdekaan memilih pengalaman/pendapat/karya/impian yang akan diceritakannya. Tentu, seperti orang dewasa juga, anak akan memilih proses dan hasil belajar yang membuatnya percaya diri, bangga dan berdaya. Tidak seperti ujian terstandar yang sering membuat anak merasa tidak berdaya.
Sekarang Suara Anak ada tiga kategori yaitu kegemaran (6 - 9 tahun), karya (10 - 15 tahun) dan misi sosial (13 - 18 tahun). Untuk apa? Ya setiap tahap perkembangan, anak butuh tantangan yang lebih menantang agar terus berkembang.
Jadi, tunggu apalagi, bila anak Anda menekuni suatu kegemaran, tekun berkarya dan tekun menjalankan misi sosial, yuk daftarkan jadi presentan di #SuaraAnak Kedelapan di Semarang.
Buruan klik Suara-Anak.TemanTakita.com
Setiap lima menit, di suatu tempat di dunia ini, satu anak mati akibat kekerasan. Itu fakta yang dikeluarkan UNICEF. Selama berabad-abad, hak anak sebagai manusia tidak diperhatikan, tidak dilindungi oleh hukum. Banyak anak menjadi korban manipulasi, intimidasi, eksploitasi, pelecehan, penganiayaan, dan berbagai tindakan tak manusiawi lainnya, terutama dari orang dewasa.
Kesadaran, pengakuan, dan perlindungan terhadap hak asasi anak-anak adalah bagian dari kemajuan peradaban manusia. Meskipun kecil dan lemah, anak juga manusia, sama sakralnya dengan orang dewasa. Jika ingin hidup masyarakat damai dan maju, kita mesti mengembangkan model pengasuhan dan pendidikan anak yang berbasis kasih sayang. Kita semua harus belajar meninggalkan paradigma kekerasan, dimulai dari rumah dan berlanjut juga di sekolah. Upaya ini harusnya dibarengi juga dengan kebijakan pemerintah yang anti-kekerasan pada anak.
Oleh karena itu, gelisah sekali rasanya membaca pernyataan-pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru dilantik, Pak Muhadjir Effendy. Mulai dari pernyataan di rubrik Sudut Istana TVRI (28/7/2016), kemudian di penutupan Jambore Pelajar di Surabaya (6/8/2016) sampai acara peluncuran mobil Formula Hybrid (10/08/2016), Pak Muhadjir konsisten menyuarakan konsep pendidikan yang “keras”.
Secara tersurat, Pak Muhadjir menyampaikan bahwa “sanksi fisik merupakan alternatif mendidik yang memperkuat mental anak ketika teguran masih juga tidak berdampak” dan “sanksi fisik dalam batas tertentu bisa ditoleransi dalam dunia pendidikan”. Seperti kata pengajar Kampus Guru Cikal Bukik Setiawan, pernyataan itu menggambarkan sikap abai terhadap kondisi gawat darurat kekerasan anak. Riset yang dilakukan Plan International dan ICRW menunjukkan 84 persen pelajar di Indonesia pernah mengalami kekerasan, dengan 33% pelakunya adalah guru.
Ya, mungkin karena kita pun hasil pendidikan keras, kita menganggap sanksi fisik itu normal. Ini hanya menunjukkan bahwa kekerasan melahirkan kekerasan. Berbagai riset selama 20 tahun terakhir satu suara menyimpulkan, sanksi fisik memunculkan siklus kekerasan. Anak yang dikerasi nantinya akan balik mengerasi orang lain, mulai dari orangtua, kakak-adik, teman, lalu pasangan hidup (dan anak-anaknya juga, bukan?). Anak menurut karena takut, bukan karena sadar, lalu tetap melanggar hukum ketika merasa tak ada yang mengawasi. Syukurlah makin banyak orangtua dan guru yang sadar bahwa kekerasan tak efektif kini mulai meninggalkannya.
Namun, sementara kami orangtua di rumah dan guru di sekolah berusaha belajar meninggalkan paradigma kekerasan, mengapa orang nomor satu di sistem pendidikan nasional justru permisif pada sanksi fisik atas nama “mendidik”? Dalam kondisi masyarakat yang masih dalam taraf belajar meninggalkan kekerasan, seharusnya Pak Muhadjir jangan tambah membuka ruang pembenaran bagi praktik kekerasan dari guru ke siswa di sekolah maupun di luar sekolah.
Konvensi Hak Anak (KHA) Tahun 1989 tegas menyatakan, anak harus dilindungi dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental, termasuk dalam proses pendidikan (pasal 19). Isi KHA ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia lewat Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, jadi haruslah diindahkan oleh semua menteri. Ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 juga sudah sangat jelas: “Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.” (pasal 9 ayat 1a jo. pasal 76C, 76D, 76E).
Mengizinkan adanya sanksi fisik dan pendidikan “keras” adalah paradigma berbahaya. Dari situ akan muncul pelanggaran HAM dan hukum! Masyarakat dan sistem pendidikan kita akan mundur ke zaman kegelapan! Marilah belajar dari negara-negara Skandinavia yang tersohor kualitas pendidikannya. Mereka berhasil menumbuhkan watak yang luhur, kreatif, demokratis, cendekia pada para siswa tanpa kekerasan! Karena sebetulnya disiplin tidak identik dengan kekerasan. Karakter ditempa lewat
Karya terakhir Mendikbud Anies Baswedan. Video Indonesia Raya ini diproduksi oleh Ipang Wahid, menampilkan penyanyi cilik Shanna Shannon. Video ini akan diputar sebelum pemutaran film di bioskop.
Читать полностью…Selamat siang, selamat hari Jumat

😊
Selamat harinya diskusi Komunitas Guru Belajar!
Minggu-minggu terakhir menjelang libur begini tentunya Ibu Bapak Guru sedang dalam lingkaran tenggat waktu pelaporan hasil belajar semester 1

😊
Kami ingin mengajak Bapak Ibu Guru dan para orang tua semua untuk sejenak saja bergabung, membicarakan apa itu SEKOLAH YANG MENUMBUHKAN.
Bagaimana sebuah sekolah memberi ruang bagi setiap yang terlibat, untuk tumbuh di dalamnya.
Bagaimana kita sebagai pendidik menempatkan diri, mengembangkan diri, dan pada akhirnya dapat memberi pelayanan terbaik.
Bagaimana anak, orang tua, dan keluarga mendapatkan pelayanan terbaik untuk mencapai cita-cita terbaik mereka.
Mari, kita berikan makna lebih pada perjuangan kita selama ini

😍
Diskusi malam ini akan menghadirkan narasumber Ibu Rahmi Salviviani, dari TK Alifa Kids, Penggerak Guru Belajar Pekanbaru.
Saya, Lany Rh, penggerak Komunitas Guru Belajar Timika, Papua akan mengawal diskusi sebagai moderator.
Catat waktunya ya :
Indonesia Timur: 20.30-22.30
Indonesia Tengah: 19.30-21.30
Indonesia Barat: 18.30-20.30
Sampai jumpa

😉
Merdeka!
/channel/diskusigurubelajar
Pemerintah Gagal Lulus Ujian Substansi Kebijakan UN
Oleh Najelaa Shihab, Pendidik
Empat belas poin tanggapan terhadap penolakan Moratorium UN oleh Pemerintah Republik Indonesia.
1. Kebijakan asesmen & #UN belum tersentuh secara fundamental. Padahal reformasi pendidikan negara amat dipengaruhi sistem penilaian.
2. Keberisikan musiman menjelang #UN didominasi kepentingan politik & kampanye sesaat, tidak substantif berkait siswa sebagai subyek pendidikan.
3. "Kekuatan" UN memang luar biasa. anggarannya hanya 0.1% dari total anggaran fungsi pendidikan, tapi proses & hasil berkait puluhan juta orang.
4. Efektifitas #UN harusnya dinilai berkait tujuan esensial. Apakah berdampak meningkatkan akses, meningkatkan mutu & mengurangi kesenjangan?
5. #UN jadi indikator tunggal siswa sukses, guru kompeten & sekolah favorit. Padahal rata-rata hasil UN beda dengan GDP ekonomi yang komprehensif
6. Semua tujuan "diselesaikan" dengan #UN padahal untuk jadi definisi kesuksesan siswa pun, belum cukup. Kompetensi tergambar sangat terbatas.
7. Asesmen harus memiliki tujuan jelas yang tidak dicampuradukkan. Memetakan,seleksi ke jenjang berikutnya atau sertifikasi kualifikasi.
8. Untuk ukur hal yang sederhana, tinggi & berat kita memerlukan meteran & timbangan, cm & kg. Tapi mengapa menilai pendidikan dengan 1 angka #UN di akhir jenjang?
9. Rendahnya yang ujian perbaikan, tingginya kecurangan sistematis walau #UN sudah bukan penentu kelulusan, menunjukkan miskonsepsi pendidikan
10. Reformasi asesmen & #UN idealnya mempertimbangkan pemenuhan hak dan kemerdekaan belajar siswa serta kewajiban negara secara seimbang
11. Reformasi ujian akan mendorong ekosistem yang ideal, bila siswa punya suara memilih sertifikasi atau alat seleksi yang dibutuhkan & bermanfaat
12. Syarat awalnya, pemerintah dengan tujuan & aspirasi yang jelas, cetak biru yang strategis serta pemanfaatan data & umpan balik yang konsisten.
13. Sayang, prioritas Nawacita mengevaluasi penyeragaman & putusan MA di 2009 yang mensyaratkan pemenuhan kondisi standar pelayanan belum dilakukan.
14. Jalan dalam reformasi asesmen & #UN masih panjang. Kita perlu berjuang untuk proses asesmen utuh terhadap semua standar & pemangku kepentingan.
Sumber: http://bit.ly/TanggapanUN
SELAMAT HARI RELAWAN INTERNASIONAL!
Banyak guru yang bersedia mengajar, tapi jarang yang terus belajar. Banyak guru yang aktif mendorong siswa, tapi jarang yang berkolaborasi bersama teman sejawat. Penggerak guru belajar menjadi relawan, bukan sekedar karena mendidik adalah kewajiban, tapi karena sadar yang tersulit adalah mendidik diri sendiri setiap hari.
Terima kasih untuk semua Penggerak Komunitas Guru Belajar, telah menularkan kegemaran belajar ke seluruh Nusantara!
@NajelaaShihab, Inisiator Komunitas #GuruBelajar & #KampusGuruCikal
Mau belajar mengelola keragaman kelas? Yuk ikut diskusi #GuruBelajar ttg #Diferensiasi di grup @telegram. Klik /channel/diskusigurubelajar
Читать полностью…Terima kasih sudah menyaksikan Facebook Live - Moratorium Ujian Nasional hasil kerja sama Kampus Guru Cikal dan Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK).
Bila ada masukan, silahkan tulis di http://bit.ly/UmpanBalikUN
Halo semua! 😊😊😊
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI berencana melakukan moratorium Ujian Nasional. Pertanyannya, apa dampak perubahan ujian nasional tersebut? Apa alternatif kebijakan asesmen bagi siswa? Apa alternatif strategi bagi guru, kepala sekolah dan kepala daerah? 🤔🤔🤔
Simak Facebook Live (Siaran Langsung) tentang Moratorium Ujian Nasional 😍😱😍
Najelaa Shihab, Dosen Kampus Guru Cikal, Peneliti PSPK
Dr. Nino Aditomo, Peneliti PSPK, Dosen Universitas Surabaya
Kamis, 1 Desember 2016
16.30 - 18.00 WIB
Kami mengundang Anda untuk mengajukan pertanyaan seputar Moratorium Ujian Nasional. Pertanyaan terpilih akan dijawab oleh narasumber. Pertanyaan ditunggu paling lambat hari Kamis jam 12.00 WIB.
Tuliskan pertanyaan Anda di kolom komentar di http://bit.ly/LiveMoratoriumUN
Facebook Live ini hasil kerja sama Kampus Guru Cikal dan Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK)
Informasi ini boleh disebarkan :)
Sampai jumpa Kamis sore 😊👋😊
Tuisan dari Guru Rahayu Ujianti Putu ini sungguh menghangatkan hati, bahwa kita masih punya banyak saudara sevisi.
Berani menjadi guru, berarti berani berdarah-darah.
Berani menahan perasaan, berani patah hati berulang-ulang. Jika seseorang yang merasa patah hati sekali saja lalu bersumpah untuk tidak jatuh cinta lagi seumur hidupnya, seorang guru sejati, pada akhirnya menerima bahwa patah hati adalah bagian dari kodrat profesi. Banyak yang bisa menjadi penyebab seorang guru patah hati. Mulai dari harus berdamai dengan kurikulum yang lebih ke ‘menghajar’ daripada mengajar, pemberlakuan sistem evaluasi yang terasa kurang fair, karena tak benar-benar dapat menggambarkan seorang siswa secara keseluruhan, sampai beberapa siswa yang kepadanya sungguh diberikan hati dan jiwa namun ternyata memilih berpaling pada hal-hal lain, kecuali belajar dan sekolah.
Lengkapnya baca di https://rahayujianti.wordpress.com/2016/11/27/ketika-kami-patah-hati/
Merdeka Belajar (3): Sulitnya Komitmen, Mandiri dan Refleksi
Najelaa Shihab, Inisiator Komunitas Guru Belajar, Dosen Kampus Guru Cikal
Pengalaman di komunitas guru belajar menunjukkan bahwa perjalanan menuju merdeka belajar ini tidak mudah.
Meneguhkan komitmen adalah modal awal merdeka belajar, apa tujuan kita sebagai pendidik. Setiap dari kita yang setiap hari bergiat di pendidikan, sadar sulitnya konsisten pada tujuan di saat begitu banyak tugas administrasi dan birokrasi menyita begitu banyak waktu. Dalam diskusi dengan teman-teman guru belajar dari Ambon beberapa minggu lalu saya belajar bahwa dalam perjuangan ini, kita harus bisa membedakan cara dengan tujuan. Rangking, akreditasi, ujian, seleksi adalah cara yang saat ini seringkali menjadi tujuan dan prioritas utama diatas tujuan pendidikan nasional dan misi pribadi kita masing-masing saat memilih menjadi pendidik.
Guru yang merdeka belajar adalah guru yang mandiri. Mandiri adalah proses yang kita gerakkan. Mandiri dalam arti sesungguhnya adalah memegang kendali. Dalam percakapan dengan guru belajar dari Sukabumi, saya terhenyak oleh masih banyaknya praktek manipulasi yang terjadi saat berbicara tentang pengembangan guru; uang, kepentingan dan jabatan - mengotori semangat belajar. Tingkat pelibatan publik di Indonesia sebetulnya cukup tinggi, secara umum data menunjukkan tingkat keterlibatan di negara berkembang memang lebih baik dibanding negara maju. Namun, saat kita melihat tahapan pelibatan publik, lebih banyak guru yang kemudian berhenti sampai di tingkat konsultasi atau kemitraan, belum sampai ke tingkat berdaya dan mengendalikan. Padahal perubahan nyata membutuhkan tingkat keterlibatan tertinggi.
Pendidik yang merdeka belajar terus melakukan refleksi. Refleksi ini mudah dikatakan, namun sulit dilakukan. Berbincang dengan teman guru belajar di Wonosobo, saya sadar betapa refleksi itu sebuah proses yang sangat tidak nyaman dan penuh resiko. Sebagian dari kita menolak membuka mata dan melihat cermin, dengan seratus alasan, masyarakat belum siap, orangtua tidak mendukung, murid tidak paham, dan seterusnya. Transparansi dan akuntabilitas pendidik disederhanakan sampai kehilangan maknanya sekedar skor dan mengisi form. Refleksi selesai dengan selesainya tugas administrasi, tanpa percakapan yang bermakna dan mendorong kita untuk berubah.
Komitmen, mandiri, refleksi. Tiga kata, tiga dimensi merdeka belajar, namun kompleksitas pendidikan yang sangat interdisiplin, membuatnya tidak mudah diwujudkan. Saya ingat betul, Donna Shahlal, salah seorang pakar pendidikan membandingkan betapa sederhananya proses mengirimkan pesawat Apollo ke bulan yang dilakukan NASA di tahun 1970-an dibandingkan dengan reformasi pendidikan yang dilangsungkan di Amerika Serikat di rentang waktu yang sama. Upaya mengubah ekosistem pendidikan butuh dana lebih besar, melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan dan membutuhkan waktu lebih panjang terkadang tanpa bukti nyata keberhasilan.
Tak heran pendidikan selalu dikatakan penting, tapi tidak pernah menjadi prioritas. Tak heran sebagian dari kita frustasi. Tak heran sebagian memilih keluar dari sistem, memilih "exit" bukan "voice". Tapi guru di komunitas guru belajar yakin bahwa satu-satunya cara untuk mewujudkan merdeka belajar adalah memilih berdaya dengan bersuara lebih keras.
Sumber: http://bit.ly/MerdekaBelajar3
http://temantakita.com/4-cara-praktis-mengurangi-kecemasan-orangtua-atas-kegagalan-anak/
Читать полностью…Mau ikut diskusi mingguan #GuruBelajar? Yuk gabung kanal @telegram di /channel/GuruBelajar
Читать полностью…Berkarier di zaman kreatif menjadi tantangan yang pasti akan dihadapi anak kita. Bagaimana guru dan orangtua dapat berperan membantu anak menyiapkan diri untuk berkarier cemerlang di zaman kreatif?
Ikuti Kelas Lokakarya TemanTakita.com di
Temu Pendidik Nusantara 2016: Merdeka Belajar
Sabtu, 29 Oktober 2016
08.30 - 11.30 WIB
Lokasi: SMKN 57, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Ingat dan catat Kode Kelas C13
Daftarkan diri Anda di http://www.kampusgurucikal.com/tpn-2016
PRA PERTEMUAN NASIONAL PENDIDIKAN ALTERNATIF
Undangan terbuka. Yayasan Setara bekerjasama dengan Jaringan Pendidikan Alternatif mengundang rekan rekan dan para sahabat dalam Acara : diskusi publik peran pendidikan alternatif dlm mewujudkan pendidikan yg memerdekakan anak.
Tempat dan waktu : KPID lantai 3, Jalan Mugas Raya Semarang, Minggu, 18 September 2016, pukul 15.30 - 18.00
Pemantik diskusi: 1.Bukik Setiawan - Jaringan Pendiikan Alternatif/Suara Anak 2. Ahmad Bahruddin - pendiri dan praktisi pendidikan komunitas Qariyah Toyyibah,Salatiga 3. Novi Dibyantari - komunitas sahabat difable, dipandu oleh kang putu (budayawan)
Cp yuli bdn, ika camelia 085876179406
pelatihan kebiasaan-kebiasaan baik di rumah maupun di sekolah, yang mengedepankan teladan dari orangtua, guru, serta masyarakat. Jiwa besar dan ksatria dipupuk lewat suplai ide-ide inspiratif dalam bacaan dan pelajaran.
Lewat petisi ini, kami mengajak semua warga Indonesia yang sayang anak, yang ingin masyarakat Indonesia damai dan maju, yang ingin sistem pendidikan Indonesia makin baik. Mari kita tolak paradigma kekerasan dalam proses pendidikan. Bapak Presiden Joko Widodo telah memulainya dengan seruan stop kekerasan terhadap anak pada perayaan Hari Keluarga Nasional XXIII di Kupang tanggal 20 Juli 2016 lalu [10].
Sebagai pucuk pimpinan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang dilantik oleh Pak Jokowi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy harus menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada toleransi penggunaan kekerasan fisik atau mental kepada siswa dari siapa pun di lingkungan pendidikan. Proses pendidikan mesti dilangsungkan dalam iklim kebahagiaan, pengertian, dan kasih sayang. Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang Perlindungan Anak harus ditaati.
Salam kami,
Ellen Kristi (orangtua)
Ameliasari Kesuma (guru)
Dukung petisi ini, klik
https://www.change.org/p/menteri-pendidikan-dan-kebudayaan-prof-dr-muhadjir-effendy-mendikbud-harus-tegas-tolak-kekerasan-sanksi-fisik-dalam-proses-pendidikan?recruiter=27371207&utm_source=petitions_share&utm_medium=copylink&recuruit_context=copylink_long
Sudahkah Anak Merdeka atas Paksaan Belajar?
Sumber: http://temantakita.com/sudahkah-anak-merdeka-atas-paksaan-belajar/
Karena belajar bukanlah menanamkan, melainkan menumbuhkan.
Merdeka! Kita baru saja merayakan ulang tahun ke-71 bangsa Indonesia, yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus. Berbagai ungkapan kebahagiaan kita wujudkan dalam rupa-rupa, misalnya lomba tujuh belasan dan tasyukuran. Pernak-pernih merah putih pun mewarnai lingkungan tempat tinggal kita selama seminggu terakhir. Apa kegiatan keluarga Anda dalam memperingati hari kemerdekaan Indonesia?
Merdeka memang menjadi kata yang tidak asing, pula kian terdengar setiap bulan Agustus. Anak Ayah Ibu mungkin juga sudah mendengar dan belajar tentang kata ini. Entah mengenalnya dari pelajaran di kelas, saat menonton televisi, atau bahkan dari cerita kakek-neneknya tentang zaman perjuangan di masa kemerdekaan. Secara kasat mata, saat mendengar kisah kemerdekaan bangsa kita, anak akan menangkapnya sebagai merdeka atas penjajahan bangsa lain.
Seorang psikolog sosial kondang, Erich Fromm, mengupas perihal merdeka dalam bukunya Escape from Freedom – atau jika Ayah Ibu pernah menemui edisi bahasa Indonesianya, Lari dari Kebebasan. Ada dua definisi kebebasan menurut Erich Fromm: pertama, bebas atas tekanan dari luar. Dalam konteks kemerdekaan, saya rasa jelas: seperti yang telah saya sebutkan, bangsa Indonesia akhirnya merdeka atas penjajahan Jepang di tahun 1945.
Namun, saat seseorang telah bebas atas tekanan dari luar, ia tidak bisa berhenti di situ saja. Definisi kebebasan yang kedua adalah bebas untuk belajar dan berkarya secara kreatif. Dengan kata lain, menjadi diri sendiri yang otentik. Tanpa melatih kebebasan kedua, yakni ‘bebas untuk’, manusia akan kembali jatuh dalam pengaruh dan tekanan dari luar. Itu artinya, seorang anak yang tidak belajar untuk melakukan sesuatu atas dorongan dari dalam dirinya sendiri, ujung-ujungnya bertindak karena motivasi eksternal semata.
Saat Erich Fromm yakin bahwa anak punya kemampuan dan potensi untuk mengarahkan dirinya sendiri, bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, memiliki pendapat yang sama. Jika Erich Fromm menggunakan istilah keotentikan, Ki Hajar Dewantara menyebutkan istilah kodrat, seperti yang pernah ditulisnya dalam bunga rampai Pendidikan. Anak lahir dengan kodratnya masing-masing, dan orang dewasa – termasuk kita sebagai orangtua mereka – tidak bisa mengubah kodrat tersebut.
Hanya saja, orangtua seringkali tidak mempedulikan kodrat yang dimiliki anak. Kita lebih sering menuntut anak menjadi si ini dan si itu, menguasai pelajaran tertentu dan mengabaikan pelajaran lain (yang mungkin lebih sesuai dengan kodrat anak), bahkan berkarier di bidang yang bukan merupakan bakat anak. Anak tidak dididik untuk tumbuh sesuai kodratnya, menjadi dirinya sendiri. Apa akibatnya? Anak dipaksa belajar dan hanya belajar saat dipaksa, entah dengan iming-iming hadiah maupun ancaman hukuman. Mahasiswa lulusan S1 lebih melirik pekerjaan tertentu hanya karena gajinya lebih tinggi, mengabaikan minat dan kompetensi yang telah ditekuninya selama ini.
Bagaimana agar anak kita terhindar dari hal ini? Seperti apa yang telah dijelaskan Erich Fromm, anak perlu mengalami kedua kebebasan: anak harus bebas atas tekanan dari luar terlebih dahulu. Dalam proses belajar dan pengembangan bakat anak, ini berarti anak harus bebas dari paksaan orang dewasa – termasuk orangtuanya.
Seperti telaah Bukik Setiawan, anak bukan kertas kosong. Setiap anak dikaruniai kemampuan mengolah informasi yang unik oleh Tuhan, untuk belajar dan tumbuh sesuai kodratnya. Menyadari bahwa anak bukanlah kertas kosong menjadi langkah awal kita sebagai orangtua untuk memerdekakan anak dari harapan-harapan orang dewasa yang tidak sesuai dengan diri anak. Saat anak merdeka atas paksaan belajar, barulah ia berkesempatan belajar melakukan sesuatu – termasuk mengembangkan bakat – atas dorongan dari dirinya sendiri.
Sekali lagi, sudahkah anak merdeka atas paksaan belajar?
Sumber: http://temantakita.com/sudahkah-anak-merdeka-atas-paksaan-belajar/
Video talkshow Indonesia Morning School di Net TV mengkaji Full Day School https://www.youtube.com/watch?v=m3hK7MZmfLU
Читать полностью…